Yang wajahnya kutatap diam-diam

Kemarin malam rasa angin cukup sendu untuk menghampiri seseorang yang telah menanti disebuah persimpangan.
Langkahku berpijak pada tanah dingin beraspal, menuju yang menunggu ditepian.

Angin malam mulanya biasa saja, sampai makin dingin saat aku dibawanya melaju lebih lama.
Tapi bicaranya mengahangatkan. Namun anginpun membawa kabur beberapa kalimat hingga jadi samar-samar didengar.

Tak cukup banyak perbincangan, hanya saja dari beberapa kalimat samar yang kabur terbawa angin, aku suka pada bagian kalimat saat kamu bertanya
"Kita mau kemana nih?"

Aku yang memang sebenarnya tak begitu lapar malam itu, Mengapa bisa jadi makan bersamamu dalam satu meja.
Dan... entah, seketika detak jantungku terasa aneh. Aku mengenali perasaan semacam ini, ada canggung ada malu.

Tidak.... Tidak.... Tidak....

Aku tidak serta merta menamai ini sebuah perasaan.
Aku hanya suka menatapnya makan pada malam itu. Melahap sendok demi sendok makanan dari mangkuk, karena itu menggemaskan. Sungguh, aku menyukai itu.

Sampai dia perlahan beranjak pulang bersama angin dingin malam itu, aku melihatnya dari balkon depan pagar tosca. Kemudian perlahan ia menghilang usai persimpangan....


Comments

Popular Posts